Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menilai Indonesia belum merdeka dari energi fosil meski sudah bebas dari penjajahan selama 77 tahun.
“Untuk keluar dari ketergantungan ini kita perlu adanya keberanian politik, terus inovasi, dan juga kerja sama dengan berbagai pihak seperti kita mencapai kemerdekaan dahulu,” ujar Adila dalam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Saat ini, Indonesia merupakan pengekspor batu bara terbesar.
Menurut Adila, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar pemanfaatan energi fosil dapat ditekan.
Pertama, pemerintah mesti mempercepat transisi energi dan coal phase-out hingga 2040.
Upaya tersebut dianggap membutuhkan kepemimpinan yang serius, termasuk saat membangun infrastruktur atau Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Dalam hal IKN, pemerintah sangat aktif membuat undang-undangnya dan mencarikan dananya.
Jadi bayangkan jika kepemimpinan model itu ada untuk trasisi energi dan juga phase-out, pasti lebih mudah,” katanya.
Kedua, pemerintah mesti menghentikan pembangunan 13,8 Digawatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara agar tidak terjadi oversupplay dan carbon lock.
Jika PLTU batu bara dibangun, operasionalnya akan memakan biaya yang semakin mahal dan tidak bisa bersaing dengan energi terbarukan.
“Biaya bahan bakarnya mahal, mau pensiun juga mahal, dan banyak penekanan dari kebijakan internasional maupun domestik untuk mempercepat phase-out,” tutur Adila.
Ketiga, pemerintah diminta mempercepat pembangunan energi terbarukan.
Saat ini, Adila berujar, energi fosil masih banyak mendapatkan kemudahan dan subsidi.
Karena itu, energi baru terbarukan belum dapat bersaing.
Guna mengurangi pemanfaatan energi fosil, pemerintah disarankan memprioritaskan insentif untuk energi terbarukan.
Misalnya, menerapkan pungutan ongkos lingkungan, ongkos krisis iklim, dan ongkos kesehatan terhadap harga dari energi fosil atau batu bara melalui pajak karbon.
“Tentunya yang sesuai agar semankin bersaing dengan energi terbarukannya.
Dan untuk menetralisir pajak karbon, harus ada insetif untuk energi terbarukan itu sendiri.
Jadi shifting itu terjadi dari energi fosil ke energi terbarukan,” kata dia.
Keempat, Adila meminta agar pemerintah tidak memberikan solusi palsu.
“Jika tetap seperti itu, kita tidak akan bisa merdeka dari energi fosil dan (tak bisa menghindari) krisis iklim,” ucap Adila.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini